Refleksi Pergerakan Mahasiswa

Zely Ariane* Pengurus Besar Nadhatul Ulama (PBNU), didukung oleh berbagai kalangan purnawirawan Angkatan Darat dan kalangan ormas yang tak disebutkan nama-namanya, baru-baru ini menolak segala bentuk rencana permintaan maaf pemerintah/Presiden Republik Indonesia terhadap korban peristiwa 1965-1966[1]. Wakil sekjend PBNU mengatakan bahwa peristiwa tersebut harus dilupakan, senada dengan pernyataan Priyo Budi Santoso, wakil ketua DPR, yang menganggap tidak penting lagi mengungkit-ungkit kasus pelanggaran HAM masa lalu[2]. Pernyataan ini dikeluarkan menanggapi desakan berbagai pihak agar pemerintah meminta maaf[3] atas peristiwa yang sampai saat ini masih ditutup rapat dan tidak mendapatkan keadilan baik secara hukum maupun politik. Usman Hamid, mantan koordinator KONTRAS menyesalkan pernyataan PBNU tersebut dan menganggapnya tidak berbasiskan mandat Muktamar sekaligus suatu kemunduran, setelah pada tahun 1999 almarhum Gus Dur menyatakan permintaan maafnya terkait peristiwa tersebut[4]. Sebelumnya Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono memerintahkan Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk menindaklanjuti temuan KOMNAS HAM terkait terjadinya pelanggaran HAM berat dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan pemerintah pada periode 1965-66, yang telah memakan korban jiwa antara 500.000 sampai 3 juta orang[5]. Temuan penyelidikan KOMNAS HAM selama 4 tahun yang menyebutkan telah terjadi setidaknya sembilan kejahatan kemanusiaan: pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau kebebasan fisik, penyiksaan, perkosaan, penganiayaan, dan penghilangan orang secara paksa[6], telah meletakkan kembali kejahatan terberat kemanusiaan 1965-66 ke dalam agenda politik dan hukum nasional. Pihak yang dinyatakan paling bertanggung jawab atas kejahatan berat tersebut adalah Kopkamtib (Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) yang dibentuk pada 10 Oktober 1966 di bawah komando langsung Letnan Jenderal Soeharto. KONTRAS dalam siaran persnya juga mendesak Kejagung Republik Indonesia untuk segera melakukan penyidikan dari hasil temuan tersebut. Diungkapkan juga bahwa Kejagung tak bisa lagi berkilah untuk menggelar pengadilan AdHoc setelah dikeluarkannya Surat Mahkamah Agung KMA/403/VI/2003 yang memohon kepada presiden pada waktu itu untuk merehabilitasi korban, apalagi telah dikeluarkannya rekomendasi oleh lembaga negara seperti KOMNAS HAM. Permintaan maaf dan nasib penyidikan Sudah satu bulan lebih sejak temuan tersebut disiarkan pada pers dan perintah SBY agar menindaklanjutinya, belum ada tanda apapun dari Kejagung untuk segera mengambil tindakan hukum. Wacana yang mengemuka sekarang malah soal tuntutan agar pemerintah meminta maaf, yang juga menjadi tuntutan KOMNAS HAM dan korban, yang sebetulnya tidak berkaitan langsung dengan penegakan keadilan bagi korban. Hal senada telah diungkapkan Ibu Sumarsih, aktivis HAM yang juga Ibunda Wawan, mahasiswa yang ditembak aparat pada peristiwa Semanggi I, bahwa permintaan maaf tidaklah cukup, melainkan pengakuan terhadap pelanggaran HAM berat di masa lalu serta tindakan hukum kongkrit setelahnya. Perlu diingat bahwa dua pemerintahan awal reformasi, B.J. Habibie dan Gusdur, keduanya telah meminta maaf bahkan menyatakan perlunya penyelidikan menyeluruh dan rehabilitasi terhadap para korban[7]. Menurut Harry Wibowo, dikenal sebagai Har Wib, mantan Koordinator Tim Pencari Fakta YLBHI terhadap “Pembunuhan Marsinah” (November 1993-Maret 1994) dalam diskusinya di situs jejaring sosial facebook, rekomendasi KOMNAS HAM tidak bergigi. Ada beberapa hal yang membuat rekomendasi terhadap Kejagung tersebut menjadi basa-basi, pertama adalah “percuma, karena orang-orang bertanggung jawab sudah mati”, kedua untuk kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, berdasarkan UU 26/2000, maka jalurnya harus diputuskan dulu oleh DPR, hingga kemudian pembentukan pengadilan HAM adhoc melalui pengesahan presiden, dengan demikian mengajukan berkas ke Kejagung menjadi sia-sia kalau tidak sekadar ‘dibuang ke tempat sampah’. Hal itu bahkan sudah langsung tampak dari respon Jaksa Agung, Basrief Arief, menanggapi pernyataan presiden dan laporan KOMHAS HAM dengan nada “menunggu dan lihat-lihat” sebelum melakukan penyidikan, dan menegaskan bahwa penyidikan hanya akan dilakukan jika terdapat bukti cukup untuk membawa kasus tersebut ke pengadilan. Lebih lanjut Harwib menyesalkan minimnya kreativitas politik dan hukum KOMNAS HAM yang sebetulnya sudah tahu bahwa mekanisme nasionalnya akan mentok, apalagi mengandalkan UU 26/2000 yang menurutnya kacau balau, ditambah lagi UU KKR yang sudah dibatalkan MK. Seperti sudah kita ketahui, dengan wewenang yang terbatas pada penyelidikan, berbagai kasus pelanggaran HAM yang ditangani KOMNAS HAM seringkali hanya mentok di Kejagung, dan dengan hanya menyerahkan kasus ini kembali ke Kejagung, KOMNAS HAM memang tampak berlindung pada keterbatasan mandat hukumnya dan tak mau bersusah payah melakukan terobosan politik yang lebih bergigi. Semua prosedur hukum yang hendak digunakan KOMNAS HAM sudah terbukti tak punya taji, seperti halnya diungkapkan Divis Anti-Impunitas KONTRAS, Yati Andriani, bahwa tidak ada komitmen Kejagung menyidik lima kasus pelanggaran HAM berat masa lalu (yang berkasnya telah masuk ke Kejagung) yang terjadi di masa kediktatoran Soeharto. Bulan Juni lalu ELSAM juga telah menyatakan bahwa penanganan kasus pelanggaran HAM jalan di tempat. Tak satupun dari kasus yang telah diselidiki KOMNAS HAM: penembakan Trisakti, Semanggi I dan II, kerusuhan Mei 1998, Talangsari 1989 dan kasus penghilangan paksa 1997-98, dibawa ke pengadilan HAM adhoc. Sampai sekarang, SBY juga tidak memenuhi janjinya di tahun 2004 untuk memastikan penyelidikan menyeluruh terhadap pembunuhan Munir sesuai temuan dan rekomendasi tim pencari fakta, yang menyimpulkan bahwa terjadi konspirasi yang sangat terencana dalam pembunuhan Munir yang melibatkan jajaran eksekutif Garuda dan beberapa pejabat BIN. Hingga saat ini tidak ada penyelidikan menindaklanjuti hal tersebut. Demikian halnya terkait kasus penghilangan paksa 13 aktivis di tahun 1997-98 oleh tentara Kopassus yang telah mendapatkan rekomendasi oleh DPR pada September 2009 agar ditindaklanjuti SBY. Rekomendasi ini termasuk penyelenggaraan pengadilan HAM adhoc, agar pemerintah dan instansi terkait melakukan pencarian terhadap aktivis-aktivis yang dinyatakan hilang oleh KOMNAS HAM, agar pemerintah merehabilitasi dan memberikan kompensasi pada keluarga korban, dan agar pemerintah segera meratifikasi Konvensi PBB melawan penghilangan paksa. Hingga saat ini, tak satupun dari rekomendasi tersebut ditindaklanjuti[8]. Oleh karena itu, Har wib menyarankan bahwa tindakan yang lebih bermanfaat justru meringkas berkas penyelidikan KOMNAS HAM yang lebih dari 800 halaman tersebut, mempublikasikannya ke publik serta membagikannya ke berbagai mekanisme HAM internasional yang tersedia dan relevan bersama seluruh lembaga HAM yang telah melakukan penelitian serupa—tentu saja bila mereka punya kemauan politik melakukannya bersama. Tembok sejarah tanpa pintu politik Pembukaan serta penyidikan kasus 1965-66 adalah kunci dari segala kasus pelanggaran HAM berat masa lalu di era Orde Baru. Karena Orde Baru justru merupakan hasil politik dari pembunuhan (baca: genosida) orang-orang yang mendukung fondasi Indonesia yang sama sekali berbeda dari apa yang kemudian dibangun Orde Baru, yang pertama mandiri dari kapitalisme global sementara yang kedua mengabdi pada kapitalisme global. Namun kunci ini belum memiliki pintu politik pada tembok sejarah gelap 1965-1966 yang telah dengan suskses dibangun Soeharto-Orde Baru dan masih tetap berdiri kokoh pasca kejatuhannya. Segala upaya penegakan dan penyelidikan pelanggaran HAM berat masa lalu harus berhadapan dengan fakta politik bahwa keseluruhan kekuatan politik berkuasa di Indonesia saat ini adalah kekuatan yang sudah berdamai dengan kekuatan dan dosa-dosa politik dan ekonomi Orde Baru. Peristiwa penyingkiran politik terhadap Gusdur pada Juli 2001 adalah wujud menangnya konsolidasi kekuatan sisa orde baru: Golkar dan Tentara dengan para Reformis Gadungan, yang diwakili oleh Megawati. Sehingga, dalam kondisi politik hari ini, semakin sulit pula meletakkan kembali keseluruhan agenda politik dan hukum terkait peristiwa 1965-1966. Respon PBNU dan para purnawirawan tentara pada konferensi pers 15 Agustus 2012 adalah bukti paling terkini. Gerakan sosial pasca reformasi telah kalah dalam dua pertarungan besar: kalah melawan tentara-militerisme dan Golkar serta kalah melawan kekuatan anti demokrasi[9]. Golkar tetap nomor satu di negeri ini, bahkan Soeharto masuk ke dalam daftar 10 calon pahlawan nasional. Dalam situasi kekalahan ini kita terbentur satu tembok sejarah jahat masa lalu tanpa pintu hukum dan politik yang siap dibuka. Posisi Harwib dalam komentarnya berusaha memberikan jalan lain, yang bila diilustrasikan menjadi semacam menempelkan kesimpulan bukti penyelidikan KOMNAS HAM ke sekeliling tembok sejarah yang menghadang di depan, mencari celah dukungan dari mekanisme hukum internasional yang mungkin bisa membantu memanjat dinding atau memaksa dibuatkan pintu. Bagi saya, menyebarluaskan hasil penyelidikan KOMNAS HAM pada publik dan segenap bukti kejahatan struktur politik Orba dan Tentara di masa 1965-66, adalah langkah politik yang sangat penting. Dan, apabila KOMNAS HAM menyadari kepentingan pelurusan sejarah peristiwa 1965-66 ini terhadap keseluruhan kasus pelanggaran HAM dan upaya terobosan hukum Indonesia, serta memahami bahwa sandungan hukum dan politik yang akan mereka hadapi, maka mereka harus lebih berani menggalang kekuatan politik bersama gerakan sosial, terlibat dalam aksi-aksi KAMISAN yang diselenggarakan Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK)—yang telah memasuki kali ke 270—adalah sedikit dari langkah politik yang penting dilakukan KOMNAS HAM untuk menunjukkan kesungguhan komitmen penegakan HAM mereka. Sebaliknya gerakan sosial juga berhak menuntut KOMNAS HAM untuk mendistribusikan kesimpulan laporan penyelidikan tersebut sebagai bahan pendidikan politik tak saja bagi gerakan, tapi terlebih penting bagi generasi muda yang tak memiliki memori politik apapun terhadap kejahatan orde baru. Penyelesaian hukum adalah satu hal, yang sayangnya begitu sempit kemungkinan itu dimenangkan pada situasi saat ini, namun penyadaran politik adalah hal lain yang jauh lebih penting dan bertahan lama bagi masa denpan perjuangan demokrasi di negeri ini. Di dalam landasan inilah posisi terhadap wacana rekonsiliasi masa lalu dan dialog silaturahmi yang ditawarkan PBNU ditempatkan, bahwa tidak ada rekonsiliasi dan silaturahmi yang adil dalam posisi dimana satu ideologi dilarang dan dihancurkan, suatu sejarah masa lalu tak dibolehkan diusut dan diurai. Semua pihak-pihak yang tidak menganggap penting pengusutan peristiwa 1965-1966 adalah pihak-pihak yang dengan sadar telah ikut ambil bagian dan mendapatkan manfaat ekonomi dan politik dari bangunan politik sisa orde baru. Dan tentu saja pihak-pihak semacam itu adalah pihak-pihak yang harus dilawan.

* Catatan penulis: tulisan ini pada akhirnya tampak sekadar sebagai kompilasi posisi politik sebagian kelompok menanggapi laporan penyelidikan KOMNAS HAM tentang pelanggaran HAM berat 1965-1966, dan sedikit analisa historis kekuatan politik yang menghadangnya. Masih tidak cukup banyak menunjukkan satu terobosan kongkrit yang dapat dilakukan untuk menindaklanjuti hasil temuan tersebut, baik karena kemampuan penulis memahami berbagai mekanisme hukum terkait HAM nasional dan internasional, maupun informasi yang dapat penulis kumpulkan dalam waktu yang terbatas. *Anggota PPR dan redaksi Koran Pembebasan

Comments

Popular posts from this blog

Future Tense, Future Continuous Tense, Future Perfect Tense, And Future Perfect Continuous Tense (Versi Indonesia)